Pages

Sabtu, 17 April 2010

Seruling Kakua

Tanpa seorang teman, seorang guru turun dari sebuah padepokan agung diatas gunung sa’ada. Kali ini ia tak lagi menggunakan jubah kesayangannya juga kebesarannya yang tiap kali pengajian menjadi rebutan untuk mengharap berkahnya tak lagi terlihat.

Bukan hanya penampilannya saja yang berubah, sikapnya juga kian lunak. Dalil-dalil yang biasa menghiasi setiap petuahnya tak lagi mudah untuk ditemukan. Diam seolah menjadi pilihan terbaik yang dilakukannya malam ini. Banyak tetangga kampong jadi bertanya-tanya, termasuk saimin santrinya yangn doyan berprasangka.

“guru sesungguhnya ilmu baru apa yang telah engkau bawah dari padepokan agung diatas sana?” yang ditanya hanya menjawab satu kali saja ” saat berangkat aku sungguh berniat mengisi jubahku dengan bunga-bunga mauidhotil hasanah. Bila aku kemballi akan aku bagikan kepada kalian bunga-bunga nasihat menyenangkan itu. Tapi apa boleh buat, sesampainya diatas padepokan sa’ada keindahan tamannya telah membuatku menangalkan jubahku.

*****

Seorang guru Zen pernah mengatakan kisah gunung sa’ada dengan sangat gamblang: orang yang telah “tahu” tidak banyak bicara, namun sebaliknya, mereka yang banyak bicara justru tidak banyak “tahu”. “Tahu” atau ” tidak tahu” adakah batasnya?persepsikah?prasangkahkah? atau apa?.

Santo tomas aquinas, seorang cendikiawan terkemuka pernah berhenti menulis kitab. Padahal banyak oarang menyukai isi dalam kitab-kitabnya yang berlimpah kalimat bijak penuh harapan. Saking herannya, seorang sekretarisnya memberanikan diri bertanya kepada santo ” Tuanku adakah alasan bagi anda untuk berhenti berkarnya? Sesaat kemudian santo menjawab, ” saudaraku, sejak bulan lalu aku jadi tak lagi menulis Ternyata yang aku tulis tentang Tuhan bagaikan seonggok jerami belaka”.

Sekretaris santo pun tersadar bahwa barang siapa telah “dekat” dengan penciptanya maka dirinya kan luluh bagai debu di terpa angin. Lalu untuk “dekat” atau bahkan”sangat dekat” dengan yang memiliki, hakikatnya adakah caranya?

*****

Satu nada kebijaksanaan pernah keluar dari seluring kakua. Kakua adalah orang jepang yang belajar ilmu hakikat dari negeri China. Ia memiliki kawan bernama Tenno seorang pegawai istana yang parlente dan enerjik.

Kakua selama ini jarang atau hampir sama sekali tak pernah bepergian jauh. Pekerjaanya hanya bermeditasi di dalam kuil tanpa berhenti, karna itu ketika kakua menghilang, orang jadi bertanya-tanya kemanakah ia pergi. Ternyata satu dua orang bercerita bahwa kakua kini mengembara dari satu tempat ke tempat lain. Jika bertemu dengannya dan meminta satu nasihat maka kakua hanya menjawab beberapa kata dan iapun pergi ke dalam hutan dan sulit ditemukan.

Beberapa waktu berselang, Kakua pulang ke kuil dengan membawa seruling di balik jubahnya. Mendengar kabar baik ini Tenno sang kawan pun meminta untuk diajari ilmu-ilmu tingkat tinggi yang telah di kuasai Kakua. Bahkan seisi Istana berminat menjadi murid kehormatan.

Lantas dibalai istana Kakua berdiri, sorot matanya redup tapi penuh kharisma. Hadirin yang hadir terdiam tak mampu bersuara atau sekedar berbisik. Kakua seolah patung es yang tak lagi peduli dengan kicau burung di sekelilingnya.

Menjawab pidato Tenno yang tak bertepi dihadapan sang raja, Kakua hanya mengeluarkan sebuah seruling dari balik jubah lusuhnya. Ia tempelkan ujung seruling dimulutnya yang kering, sebuah nada pendek dan tak berirama terdengar singkat. Pendek sekali. Sesudah itu Kakua pun membungkukkan badannya di hadapan Tenno dan pergi menghilang.

Mendapati peristiwa ini konfisius berkata” janganlah mengajar orang yang sudah “matang” karena akan sia-sia baginya, pun jangan pula mengajar orang yang “tidak matang” karna sia sialah kata-katanya.

Benarkah sia-sia jika kita mengajari orang yang “tidak matang” atau “kelewat matang”? lantas seperti apakah ukuran “kematangan” itu?

*****

Seorang santri sebuah pesatren di tepi hutan salak pernah bertanya pada Nasrudin temannya yang sedang duduk berjongkok di lapangan depan kamar pondokannya.

” hai Din apa yang kau cari disitu?”Tasbihku hilang” lantas keduanya pun mencari disekitar lapangan tempat latihan kanuragan itu. Meski telah lama mencari ternyata barang yang dimaksud tak juga ditemukan.

Teman Nasrudin pun kembali bertanya bertanya keheranan.”sebenarnya dimanakah tasbihmu itu hilang?” Nasrudin menjawab Pendek,” dikamar!” ” Ha..lantas kenapa kau cari dilapangan ini?”. Jawab Nasrudin,” karna disini lebih terang.” Sejurus kemudian Pak Kyai datang membawa tasbih yang ketinggalan milik Nasrudin. Pak Kyai pun berkata, ” Apa gunanya mencari Tuhan di tempat-tempat suci jika di dalam hatimu tak pernah ada lagi ruang untuk-Nya?” Subhanalloh………….

Dikutip dari Majalah Al Kautsar Dhibra (Alif E.A)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

My Blog List