Dikisahkan segala burung di dunia yang dikenal atau tidak dikenal datang berkumpul. Mereka sama-sama memiliki satu pertanyaan, siapakah raja mereka. Di antara mereka ada yang berkata, “rasanya tak mungkin negeri dunia ini tidak memiliki raja. Maka mustahillah bila kerajaan burung-burung tanpa penguasa! Jadi kita semua memiliki Raja. Ya.. Raja.”
Semua burung tertegun, seperti ada keraguan yang mengawang-awang. “Keadaan semacam ini tak bisa dibiarkan terus menerus. Hidup kita ini akan percuma bila sepanjang hayat kita, kita tidak pernah mengetahui dan mengenal siapa Raja kita sesungguhnya.”
Masing-masing dari mereka masih berfikir dan terdiam. Lalu kembali ada yang berteriak, “lalu apakah yang harus kita lakukan?”
“Tentu saja kita harus berusaha bersama-sama mencari seorang raja untuk kita semua, karena tidak ada negri yang memiliki tatanan yang baik, tanpa seorang raja.”
Merekapun mulai berkumpul dan bersidang untuk memecahkan persoalan. Burung Hud Hud dengan semangat dan penuh rasa percaya diri, tampil ke depan dan menempatkan diri di tengah majelis burung-burung itu. Di dadanya tampak perhiasan yang melambangkan bahwa dia telah memiliki pancaran ruhaniah yang tinggi. Dan jambul di kepalanya tegak berdiri mahkota yang melambangkan keagungan dan kebenaran. Dan dia juga memiliki pengetahuan luas tentang perihal yang baik dan buruk.
“Burung-burung sekalian,” kata Hud Hud. “Kita mempunya raja sejati. Ia tinggal jauh di balik gunung-gunung Qaf. Ribuan daratan dan lautan terbentang sepanjang perjalanan menuju tempatnya. Namanya Simurgh. Aku kenal raja itu dengan baik. Tapi aku tak bisa terbang sendiri menemuinya. Bebaskan dirimu dari rasa malu, sombong dan ingkar. Dia pasti akan melimpahkan cahaya bagi mereka yang sanggup melepaskan belenggu diri. Mereka yang demikian akan bebas dari baik dan buruk, karena berada di jalan kekasihNya. Sesungguhnya Dia dekat dengan kita, tapi kita jauh dariNya.”
Alkisah, pada suatu malam sang Maharaja Simurgh terbang di kegelapan malam. Tiba-tiba jatuhlah sehelai bulunya yang membuat geger seluruh penduduk bumi. Begitu mempesonanya bulu Simurgh itu hingga membuat tercengang dan terheran-heran. Semua penduduk gegap gempita ingin menyaksikan keindahan dan keelokannya. Dan dikatakan pada mereka, “andaikata sehelai bulu tersebut tidak jatuh, niscaya tidak akan ada makhluk yang bernama burung di muka bumi ini.”
Kemudian burung Hud Hud melanjutkan pembicaraannya. “Bahwa untuk menggapai istana Simurgh, mereka harus bersatu, saling bekerjasama dan tidak boleh saling mendahului.”
Setelah mendengarkan cerita dari burung Hud Hud, semua burung-burung bersemangat ingin sekali secepatnya pergi menghadap sang Maharaja Simurgh. Namun burung Hud Hud menambahkan bahwa perjalanan menuju istana Simurgh tidak semudah yang dibayangkan. Harus melewati ribuan rintangan dan guncangan dahsyat. Perjalanan juga sarat dengan penderitaan, kepedihan dan kesengsaraan.
“Apakah kalian sudah siap?” teriak Hud Hud menguji keseriusan mereka. Setelah mereka mendengarkan penjelasan bagaimana suka dukanya, pahit getirnya perjalanan menuju istana sang Maharaja Simurgh, ternyata semangat sebagian burung menjadi pudar dan turun.
Namun di antara burung-burung tersebut, ada seekor kenari yang memberanikan diri menyampaikan pendapatnya. “Aku adalah Imamul Asyiqin. Imamnya orang-orang yang asyik dan rindu. Aku sangat keberatan untuk ikut berangkat. Bagaimana nanti orang-orang rindu dengan kemerduan kicauanku bila aku harus meninggalkan mereka. Bagaimana mungkin aku dapat berpisah dari kembang-kembang mekarku?” Tanya sang Kenari.
Lalu Merak menjawab, “dulu aku hidup di syurga bersama Adam dan Hawa. Lantas aku diusir dari syurga. Rasanya aku ingin kembali ke tempat tinggalku lagi. Karena itu, aku tidak mau ikut dalam rombongan.”
Kemudian disusul dengan Itik yang berujar, “aku sudah biasa hidup dalam kesucian. Dan aku juga terbiasa berenang di tempat yang kering kerontang. Aku tidak mungkin hidup tanpa air,” kilah itik.
Demikian pula dengan burung Garuda, “aku sudah biasa hidup senang di gunung. Bagaimana mungkin aku sanggup meninggalkan tempatku yang menyenangkan,” alasan Garuda.
Kemudian disusul oleh Gelatik, “aku hanya seekor burung kecil dan lemah. Tak kan mungkin sanggup ikut mengembara sejauh itu.
Lantas Elangpun menyahut, “semua orang sudah tahu kedudukanku yang tinggi ini. Maka tidak mungkin aku meninggalkan tempat dan kedudukan yang mulia ini,” sergah Elang.
Burung Hud Hud sebagai pemimpin sangat bijak dan sabar mendengar semua keluhan dan alasan burung-burung yang enggan berangkat. Namun demikian, Hud Hud tetap bersemangat memberikan dorongan dan motivasi kepada mereka. “Kenapa kalian harus berlindung di balik dalil-dalil nafsimu, sehingga semangatmu yang sudah membara menjadi padam? Padahal kalian tahu bahwa perjalanan menuju istana Simurgh adalah perjalanan suci. Kenapa harus takut dan bimbang dengan prasangka yang ada pada dirimu?” ucap Hud Hud.
Kemudian ada seekor burung menyela, “Dengan cara apa kita bisa sampai ke tempat Maharja Simurgh yang jauh dan sulit itu?”
“Dengan bekal himmah (semangat) yang tinggi, kemauan yang kuat, tabah menghadapi segala cobaan dan rintangan. Bagi orang yang rindu, seperti apapun cobaan akan dihadapi. Dan seberapa pun rintangan akan dilewati. Perlu kalian ketahui bahwa Maharaja Simurgh sudah jelas dan dekat. Laksana matahari dengan cahayanya,” jawab Hud Hud meyakinkan.
“Sabarlah, bertawakallah, karena bila kalian telah sanggup menempuh perjalanan itu, kalian akan tetap berada dalam jalan yang benar,” tambah Hud Hud.
Setelah itu bangkitlah semangat burung-burung seolah-olah baru saja mendapatkan kekuatan baru untuk terus melangkah menuju istana Simurgh. Akhirnya, burung-burung yang berjumlah ribuan sepakat untuk berangkat bersama-sama tanpa satupun yang tertinggal.
Perjalanan panjang telah dimulai, perbekalan telah disiapkan. Burung Hud Hud yang didaulat menjadi pemimpin mereka telah mengatur persiapan, dengan membagi rombongan menjadi beberapa kelompok. Setelah perjalanan cukup lama menembus lorong-lorong waktu, kegelisahan mulai datang mendera mereka.
“Perjalanan telah lama kita tempuh, mengapa kita tak kunjung sampai?” gumam mereka di dalam hati. Mulailah mereka dihinggapi rasa malas karena menganggap perjalanan terlalu lama. Mereka mulai bosan karena tidak kunjung sampai. Perasaan mereka diliputi keraguan dan kebimbangan. Kemudian sebagian burung ada yang memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan.
Namun burung-burung lain yang masih memiliki stamina kuat dan himmah yang tinggi tak menghiraukan penderitaan yang mereka alami. Mereka tetap melanjutkan perjalanan yang maha panjang itu.
Tiba-tiba rintangan datang kembali. Terpaan angin yang sangat kencang menerpa mereka sehingga membuat bulu-bulu indah yang dibanggakan berguguran. Kegagahan burung-burung perkasa pun mulai memudar. Kedudukan dan pangkat yang tinggi sudah tidak terpikirkan. Berbagai macam penyakit mulai menyerang mereka. Kian lengkaplah penderitaan yang dirasakan oleh para burung tersebut. Badan mereka kurus kering, penyakit datang silih berganti membuat mereka makin tidak berdaya. Semua atribut duniawi yang dulu di sandang dan dibanggakan, sekarang tanggal tanpa sisa. Yang ada hanyalah totalitas kepasrahan dalam ketidak berdayaan. Mereka hanyut dalam samudera iradatullah dan tenggelam dalam gelombang fana.
Pada akhirnya hanya sedikit dari mereka yang benar-benar sampak ke tempat yang teramat mulia dimana Simurgh sang Maharaja- membangun mahligainya. Dari ribuan burung yang pergi, tinggal 30 ekor yang masih bertahan dan akhirnya sampai di gerbang istana Simurgh. Namun kondisi mereka sangat memprihatinkan. Tampak guratan-guratan kelelahan di wajah mereka. Bahkan bulu-bulu yang menempel di tubuh mereka rontok tak bersisa. Di sini nampak jelas, meski mereka berasal dari latar belakang berbeda, namun pada proses puncak pencapaian spiritual adalah sama, yaitu dalam kondisi telanjang bulat dan lepas dari pakaian basyirah.
Kemudian di depan gerbang istana mereka beristirahat sejenak sambil mengatur nafas. Tiba-tiba datang penjaga istana menghampiri mereka.
“Apa tujuan kalian susah payah datang ke istana Simurgh?” tanya sang penjaga. Serentak mereka menjawab, “kami datang untuk menghadap Maharaja Simurgh. Berilah kami kesempatan untuk bertemu dengannya.”
Tanpa diduga, terdengar suara sayup-sayup menyapa mereka dari dalam istana. “Salamun Qaulan Min Rabbir Rahiim” sembari mempersilahkan mereka masuk ke dalam. Lalu mereka masuk secara bersama-sama. Kemudian terbukalah kelambu hijab satu persatu yang berjumlah ribuan. Mata mereka terbelalak memandang keindahan yang amat mempesona. Keindahan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Keindahan yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata.
—————————
Manthiqut Thair atau Musyawarah Burung-Burung adalah satu karya sastra terkenal karya Faridu’din Attar yang berisi kisah sufistik. Kisah ini melegenda hingga kini dan menjadi bahan renungan bagi para pencari jalan Tuhan. Kisahnya terangkum di bawah ini.
Faridu’din Attar sendiri dilahirkan pada 1120 M dekat Nisyapur Persia Barat Laut dan wafat pada 1230. Karyanya banyak diterjemahkan dalam berbagai bahasa dunia, dan menginspirasi sastra sufistik penulis-penulis setelahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar